Dorr dorr dorr, “cari anak laki-laki di bawah 20 tahun yang setiap desa ini punya !” teriak komandan prajurit
“Tidak akan ku serahkan Tomi padamu bodoh !” tukas seorang ibu
Kasih ibu yang sungguh besar pada anaknya. Tidak ingin anaknya pergi untuk berjuang dengan negara lain. Terpaksa Ibu itu menyerahkan anaknya. Ibu yang hanya sebatang kara tidak mampu untuk berbuat apa-apa demi anaknya.
“Tidak kau tidak boleh pergi suamiku !” teriakku sampil menarik baju suamiku yang baru 3 hari menikahiku.
“Kalian keluarga yang lemah, bodoh dan gak tau apa-apa. Mending kalian bekerja juga untuk kami. Kami pasti akan memberi kehidupan untuk orang lemah seperti kalian.”
“Kami memang rakyat miskin. Namun kami tidak sebodoh kalian yang tidak punya harga diri seperti kami !” bentak si Ibu
“Kalian cuma rakyat miskin aja sok-sokan.” Komandan angkat bicara.
“Heh kalian jangan jelek-jelekkan keluargaku! Keluargaku lebih terhormat dari kalian yang laknat ! Bawa saja aku, asal tak kau sakiti keluargaku ! ” suamiku memaki-maki komandan itu
Pergilah suamiku. Aku memang tak rela suami yang baru menikahiku pergi begitu saja. Namun apa daya, dia sudah memilihnya.
5 bulan setelah itu
ternyata aku hamil anak Mas Budi. Susah payah yang ku tanggung sekarang menjadi tanggunganku sendiri. Setiap malam aku berpikir “Mas, koe mesti seneng tenan karo anakmu iki mas. Iki lak sing tok pengen ket mbiyen to. Aku tetep weling aku mbakal ngrawat anakmu iki tenanan nganti gedhe.”
5 tahun kemudian
Anakku sudah masuk sekolah. Mereka belajar asal usul keluarga. Anakku si Boni memang tidak punya ayah. Aku tak mencari suami lagi setelah ditinggal suamiku.
“Siapa ayahku bu?” tanya Boni saat pulang dari sekolah,
“hmm.. hmm.. ayahmu ya? Apakah pertanyaan ini perlu dijawab nak?” dengan bingung jawabku.
“Iya bu, pertanyaan ini harus di jawab. Atau aku memang anak buangan?”
“Tidak nak. kau anak Ibu. Namun sekarang belum saatnya. Sulit untuk kamu mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.”
“Aku benci Ibu ! Katakan kalau memang aku anak pungut.”
“Kalau kamu memaksa, Ibu tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Ayahmu sekarang seorang prajurit negara lain.”
“Wooww keren. Lalu bu?”
“Setelah 3 hari Ibu dan Ayahmu menikah. Seorang komandan mengambil semua anak yang berusia di bawah 20 tahun untuk dijadikan prajurit. Namun ternyata saat Ayahmu diambil, Ibu sedang mengandunmu. Ini impian Ayahmu untuk mempunyai anak sepertimu. Sudah begitu ceritanya. Jangan kau marah dengan Ibu. Ibu sangat sayang denganmu. Kamu adalah aset berharga satu-satunya peninggalan ayahmu.”
“Sekarang Boni mengerti bu. Boni juga sayang sama Ibu. Boni janji Boni akan jadi yang terbaik buat Ibu. Boni mau cari Ayah kalau besar nanti.” Peluk Boni erat-erat denganku.
Semenjak aku bercerita itu, Boni menjadi dekat denganku dan menjadi anak yang baik.
10 tahun selanjutnya
Setelah 10 tahun aku menjanda. Semua pekerjaan aku yang ambil alih. Bekerja, mengurus anak, membersihkan rumah dan lain-lain. Sampai Ibuku memaksaku untuk menikahi seorang pemuda. Namun aku sama sekali tidak mencintainya. Hatiku hanya untuk Mas Budi seorang. Setiap malam mengharapkan sosok Mas Budi yang datang.
Suatu saat, saat aku pergi. Ibuku yang tidak suka dengan kepergian Mas Budi yang tak kunjung hilang dari pikiranku. Ia membakar semua foto-foto saat kami menikah dulu.
“Dimana fotoku saat menikah dengan Mas Budi?” teriakku sambil mengacak-acak tempatku menyimpan foto itu.
“Sudahku bakar semua tentang Budi itu. Kamu harus relakan. Nikahlah dengan pria pilihan Ibu. Jika tidak Ibu akan bunuh diri di depanmu sekarang juga.”
“Ibu ! Aku menyayangimu. Tapi aku masih sayang Mas Budi. Apakah cinta dapat dipaksakan? Aku akan lakukan apapun karena Ibu adalah segalanya bagiku”
“Nikahlah dengan pria itu. Pria itu baik.”
Tak lama kemudian aku menikah dengan Mas Parjo. Namun mengikuti tahun, Ibu meninggal. Aku, Mas Parjo dan anakku Boni menjadi satu keluarga yang baik.
15 tahun kemudian
Seperti pria-pria yang lain saat itu, semua pria menginginkan cepat-cepat memiliki istri. Karena semakin muda memiliki istri. Semakin perkasa ia melindungi istrinya. Budi memang anak yang tidak suka menuntut.
“Ibu, menurut Ibu apakah aku perlu mencari calon istri sekarang?”
“Terserah kamu nak. Ibu mengijinkan kamu untuk menikah. Ibu tidak akan memaksa siapapun yang akan kamu nikahi. Namun satu hal yang perlu kamu ingat. Setiap orang harus mempunyai tanggung jawab setelah memutuskan sebuah keputusan.”
“Pasti bu. Ibu memang orang yang selalu mengerti anaknya.”
“Kebahagiaanmu juga kebahagiaanku nak.”
45 tahun kemudian
Boni memiliki istri yang ia nikahi 25 tahun silam. Istri yang Boni pilih memang bukan sembarang istri. Napo memang seorang istri yang luar bisa. Ia mengerti tentang semua kemauan Boni, pintar memasak, anak dari sebuah kerajaan yang ternama, serta memiliki pendirian yang luar biasa.
“Napo kamu memang istri yang luar biasa.” Kataku pada Napo.
“Siapa dulu yang milih istri. Hahaha..” Cengir si Boni penuh kebanggaan pada istrinya
“Lha jelas siapa dulu yang mbebasin anaknya buat milih istri?” balasku dengan gurauan.
“Ya jelas Ibuku to ya. Nomor satu se dunia.” Balas anakku yang membanggakanku.
Gurauan itu akhirnya berlangsung sampai sore. Malam itu pun menjadikan aku, anakku dan istri anakku menjadi semakin akrab.
60 tahun kemudian
Aku pergi untuk menengok kampung halamanku. Saat itu aku teringat kenangan yang sangat memilukan. Saat aku berpisah dengan Mas Budi 60 tahun yang lalu. Saat itu aku sedang berumur 17 tahun dan Mas Budi berumur 19 tahun. Aku salahkan diriku selama 25 tahun karena aku telah melepaskan satu-satunya orang yang aku cintai. Amat sangat cinta pada Mas Budi. Namun sekarang aku tahu. Bahwa kami sudah memiliki jalan hidup sendiri-sendiri. Aku harus mampu untuk hidup bersama anak dan cucuku kelak. Mas Budi sudah memberikan apa yang kita cita-citakan setelah menikah.
Aku mulai berjalan menyusuri kampungku. Setelah aku menengok kuburan Ibuku yang tidak jauh dari rumahku dulu tinggal. Saat itu aku ingin sekali menengok rumah yang dulu ku tempati, namun sekarang menjadi rumah kumuh yang tidak terawat. Aku pun duduk di kursi kesayangan ku dulu di depan rumah, yang sekarang sudah rapuh tapi masih bisa digunakan untuk duduk.
Betapa kagetnya saat ada seorang pria tua yang gagah, tinggi dan memang terlihat familiar sekali. Orang itu semakin mendekatiku. Dan sepertinya dia tau sesuatu tentang rumahku dan diriku. Dengan tampang yang heran dia mengernyitkan mata untuk memastikan apakah itu benar-benar diriku. Namun masih dengan tampang bingung aku mengamati lelaki tua yang mendekatiku itu.
“Kamu siti?”
“Iya saya Siti. Anda siapa?”
Tanpa meminta ijin lelaki tua itu langsung memelukku. Pelukannya yang hangat, nyaman dan erat. Sama seperti pelukan Mas Budi dulu. Aku lepaskan pelukannya.
“Siapa anda? Apakah Mas Budi yang telah lama mengilang?”
“Iya sayangku. Ini aku Mas Budi. Aku mantan bojomu mbiyen.”
Dengan sepontan dan tak bisa berkata-kata aku balas memeluknya. Semua rasa rindu yang berperang di hari selama 60 tahun terjawab sudah. Kekasihku yang dulu pergi dengan sidat kepahlawanannya sekarang kembali utuh dengan sikap kepahlawanannya yang dulu.
“Apakah yang kamu buat selama 60 tahun Mas? Aku rindu buanget karo koe Mas”
“Aku yo kangen tenan karo koe, Ti.”
“Mas, bagaimana kehidupanmu selama 60 tahun tidak bersama ku?”
“Maaf Siti, namun sekarang saya sudah mempunyai istri lagi. Namun di lubuk hatiku yang paling dalam, masih ada rasa sayangku padamu. Setelah aku di ambil oleh komandan dari Belanda, aku di pekerjakan untuk membuat jalan raya sepanjang 1000 kilometer dari Anyer, Banten sampai Panarukan Jawa Timur yang membuat nyawa 12.000 teman-temanku hilang. Untung saja dengan kejadian itu aku bertemu istriku yang sekarang. Sehingga aku masih berada di sini dan bertemu denganmu. Suatu saat aku akan mengenalkan istriku yang menemaniku selama 60 tahun ini. Bagaimana dengan dirimu Siti?”
“Setelah kau meninggalkanku aku mempunyai anak darimu Mas. Bertahun-tahun aku menunggu kabarmu yang tak kunjung pulang. Hingga akhirnya aku membesarkan anak kita sebatang kara. Dengan keadaan yang sederhana. Sampai akhirnya aku dipaksa menikah dengan Mas Parjo yang sekarang menjadi suami yang sangat ku cintai. Aku hidup dengan anak darimu. Kini anak kita sudah memiliki istri yang amat ia cintai.”
“Siapakah nama anak kita?”
“Boni.”
“Apakah ia pernah tanya siapakah ayahnya?”
“Pernah mas, aku menjelaskan sesuai dengan kenyataan yang kita alami. Ia memahaminya, dan jurtu ia mempunyai tekat yang besar untuk menemukanmu. Mungkin kamu bisa bertemu dengan anakmu mas.”
“Mungkin kita harus akhiri percakapan yang cukup singkat ini. Kita dapat mengatur waktu untuk bertemu lagi dan hidup bersama-sama sebagai teman dekat dan sebaga sahabat yang dulu pernah mengerti antara satu dengan yang lain. Aku ditunggu istriku untuk melakukan suatu kegiatan.”
Setelah kami menyelesaikan percakapan yang sangat singkat itu dengan sebuah pelukan persahabatan. Yang kami tahu antara kami masih ada benih cinta yang masih berakar pada masing-masing hati kami. Akhirnya kami pun menjadi teman sekaligus sahabat. Teman yang hidup antara dia dan istrinya dan aku dengan suamiku serta anakku dan istrinya.
cerpen ini dibuat oleh sherly surya dewi tanpa jiplakan dari manapun :D
doain ya yg baca cerpen ini :) biar keterima sama bisa buat lomba :) juara lagi
boleh do coment kog. :D
Sherly Surya Dewi
15 April 1995
SMA Bopkri Satu
^25 oktober 2011^